Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Salah satu penyakit kronis yang sedang menjangkiti pengadaan barang/jasa adalah tali mesra didasari suudzon mendampingi pelakunya. Kalau berbicara prasetia antara pengguna dan penyedia. Ibarat perkawinan kedua mempelai mengadakan ijab nikah dengan mintakat saling goyah. Maka mampu dibayangkan keluarga yang hendak terjadi: D. Lha sekiranya bicara teraduk hehehe..

Satu diantara yang kerap menjadi pokok “pertengkaran” adalah dipersyaratkannya SKA dan SKT dalam tingkah laku konstruksi. SKA adalah Syahdah Keahlian Pikulan, dengan keyword “ahli”. Berbeda dengan SKT merupakan Sertifikat Spesialisasi Kerja secara kata kunci “Terampil”. Masing-masing faksi baik pengguna dan penyedia suudzon-nya luar biasa.

Penyedia berpendapat PPK mempersyaratkan SKA serta SKT sebagai salah satu cara untuk menindih paket bagi penyedia unik. Apesnya pokja yang terantuk getahnya. Untuk setiap kesempatan diskusi beserta teman-teman penyedia selalu sekadar pokja yang dipersalahkan plus mempersyaratkan jasa ska skt yang cenderung berlebihan. Sedangkan ini tanggungjawab PPK.

10397079_10152144879376356_2698108997847432289_o.jpg

PPK juga sejajar perwakilan pengguna beralasan bahwa penyedia lazimnya hanya meminjam meminjam usaha yang memiliki SKA/SKT. Jadi jika mempersyaratkan personil yang ber-SKA/SKT yang minimal hendak berdampak saat pekerjaan.

Sedangkan dalam sudah barang tentu dugaan-dugaan seperti ini benar adanya, namun pantas kita pahami bersama, tanda ini mesti kita perangi bersama. Keadaan ini tidak aman bagi reaksi pengadaan barang/jasa kita.

PPK sebagai penanggungjawab pelaksanaan pekerjaan dalam mengagak-agakkan spesifikasi pantas menetapkan hajat kualitas & kuantitas personil sesuai beserta kompleksitas tingkah laku.

Pokja sederajat pelaksana penentuan, dimana dalam dokumen penentuan salah satu unsur utamanya merupakan spesifikasi personil inti yang ditetapkan PPK, juga wajib melakukan kaji ulang. Untuk kaji ulang pokja harus mengingatkan PPK agar pada menetapkan banyaknya dan kualitas personil sesuai dengan kompleksitas pekerjaan.

Penyedia juga sederajat partner penguasa negara harus langsung mengupgrade kompetensinya. Dengan melakukan rekrutmen alias pembinaan poin SDM yang dimiliki, sebaiknya dalam pelaksanaan pekerjaan gak hanya mengoyak profit namun juga mengintensifkan profesionalisme. Kepemilikan tenaga yang bersertifikat bagus disisi kemahiran dan/atau keterampilan adalah tokoh profesionalisme penyedia.

Kembali menurut pertanyaan terpesona batasan ponten dan poin personil kunci yang mempunyai SKA dan/atau SKT di dalam satu Paket pekerjaan konstruksi. Pada intinya adalah disesuaikan dengan kepelikan pekerjaan.

Utk paket-paket yang bersifat status dimana kompleksitas pekerjaan semuanya ditentukan sama nilai sementara unsur yang lain cateris paribus atau bertabiat sama/tetap. Kita dapat mengamati pada pengertian yang digunakan Permen PU 8/2011, tentang Pembagian Subklasifikasi dan Subkualifikasi Usaha Servis Konstruksi lampiran 3 Takat Usaha Pengatur Konstruksi, dalam menentukan subkualifikasi berdasarkan siasat penyedia pengarah konstruksi.

Dari sini bisa dilihat lalu secara taraf dan poin SKA/SKT tidak ada pembatasan. Namun dari sebelah batas atas nilai Paket dapat disimpulkan bahwa untuk kualifikasi bisnis kecil (K) dengan prestise paket perbuatan s/d 2, 5 Milyar, standar minimalnya adalah Penanggungjawab Teknik 1 orang yang memiliki SKT. Untuk tingkatan disesuaikan menggunakan grade nilai paket. SKA baru disyaratkan apabila terselip pekerjaan elektrikal yang memang memerlukan keilmuan.

1089_01_10-Office-Building-Construction-Glasgow-Business-District_web.jpg

Sedangkan SKA non elektrikal baru dipersyaratkan untuk Paket dengan peringkat diatas 2, 5 Milyar atau Paket usaha non kecil. & pemilik SKA harus terbelah dengan Pemilik badan tenggang. Dengan kata lain direktur maskapai tidak mampu menjadi usaha ahli sekaligus untuk Paket usaha non kecil.

Demikian sekedar fikrah, silakan didiskusikan lebih mendalam.